Interviu Bersama Kate Stone: Proses Katarsis dalam Bunyi Handpan

BERDASARKAN apa yang tertulis dari Wikipedia (beberapa orang menganggap sumber dari laman ini kurang konkret) Handpan adalah istilah alat musik yang diklasifikasikan sebagai bagian dari Steelpan. Walaupun kurang konkret, namun informasi yang tersaji tentang alat musik yang terhitung baru ini, memang sedikit dalam literatur bahasa Indonesia. Tetapi bila melihat visual yang ditampilkan kamu mungkin merasa pernah melihat instrumen ini.

Instrumen ini tercetus oleh pemain perkusi bernama Reto Weber yang kemudian mendapat ide, dan mengunjungi pabrikan PANArt yang berada di dataran Swiss pada sekitaran tahun 1999.

Bentuk dari instrumen handpan. (Sumber: facebook/kate.handpan)

Sampai artikel ini tertulis, perkembangan alat musik ini terbilang masif hingga penjuru benua. Tak terkecuali bagi seorang perempuan berdarah Jerman yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi pemain handpan profesional. Tak hanya itu, ia juga gemar menjelajahi pelbagai tempat di dunia bersama instrumenya tersebut, pun melahirkan beberapa album dari instrumen yang dikenal dengan suara magisnya.

Perjalanan seorang Kate Stone dalam mengenal handpan ini tidaklah singkat. Kepada ku·mi·usik, Kate bercerita tentang perjalanan katarsis yang telah dilalui untuk mempelajari seluk beluk instrumen ini.

My process in getting to know the handpan instrument was actually pretty long ago when I was at university just starting studying meds,ungkapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa perkenalannya dengan handpan berawal di sebuah pesta mahasiswa. Pada momen itu, terlihat seorang perempuan membawa handpan dan memainkan instrumen tersebut dihadapannya.

I was in a student party and there was a yoga girl, she just came from Switzerland, with a hang, the first handpan, and no one was allowed to touch or even play. But she was playing it and all of a sudden space and time stopped, vanished, and it was just the girl and the sound, the vibration of this magical instrument, and me. It was like this instrument was calling me,tambahnya.

Sejak perjumpaan awal yang tak terlupakan dengan instrumen tersebut, selang beberapa tahun, Kate dihadapkan oleh situasi penting dalam hidupnya. Kate Stone seorang perempuan yang memiliki gelar dokter medis dan terbilang sukses dalam bidangnya tersebut, akhirnya memilih jalan sakral menjadi seorang pemain handpan profesional.

Kepada ku·mi·usik, Kate Stone menceritakan seluk beluk hingga tetek bengek proses menemukan jalan sebagai seorang pemain Handpan profesional, yang dipilih olehnya hingga hari ini. Silahkan dibaca wawancara kami dengan Kate Stone pada 27 April 2022:

ku·mi·usik: May you introduce yourself? (Bisa perkenalkan dirimu?)

Kate Stone: Hi, I am Kate Stone, I am a musician based in Germany. I’m also a German originally, even though I’ve lived abroad a lot, but now I came back to Germany. I am a former medical doctor; I quit working as a medical doctor in 2015 to fully dedicate to music.

(Hai, aku Kate Stone, aku adalah musisi yang berbasis di Jerman. Aku asli orang Jerman, meskipun aku sudah sering tinggal di luar negeri, tapi saat ini aku kembali ke Jerman. Aku adalah mantan dokter medis; aku berhenti bekerja sebagai dokter medis pada tahun 2015 untuk sepenuhnya mendedikasikan diri pada musik)

ku·mi·usik: Tell me how is your process of getting to know handpan instrument? (Ceritakan bagaimana prosesmu mengenal instrumen handpan?)

Kate Stone: (melanjutkan apa yang diceritakan Kate Stone dalam artikel di atas) It was like this instrument was calling me; but it’s just new and was so expensive. And as the first semester I thought, well yeah, okay, maybe in fifty years when I’m old and earning some money, maybe then. The next morning I woke up and I didn’t remember the name of the instrument. Even though I was in artist circle, I never saw this instrument again. So about almost ten years later, I was working as a doctor in Berlin, a friend of mine from New York asked me if he could crash on my couch so he came to Berlin, and then he had such an instrument with him and I was like “what? You have that thing?” and he was like “yeah, sure, you wanna play?” and I was “yeah, am I allowed to touch?” and then he gave me his handpan and I sat down and I could played immediately. It was just like this sound that I have often dreamt of as since I’ve heard it the first time. It was just like if I was practicing all those years of playing it and getting to know this instrument in my mind or whatsoever, so yeah I could play it immediately and it was just incredible. Back then it was really hard to be able to buy an instrument because there were very few makers. So this friend of mine did training for me but he didn’t make a certificate, but I did, so he suggested that I can go to the handpan festival on the Soros Island and teach the butta technique and that’s what I did. So finally I could take some vacations from hospital as my holidays and then I went there to teach the butta to the handpan players. I was so shy and intimidated I didn’t even dare to ask if I could try or play one of those instruments, but then the very last day they offered and as I was saying I could play immediately and it was so incredible. Then I got my first foot into the handpan community connections and then I started to connect my Facebook to other handpan players just like on the search to be able to get an instrument. And yeah, I think that was how I’m getting to know the handpan.

(Saat itu aku menghadiri sebuah pesta mahasiswa dan di sana ada seorang mahasiswi yang baru datang dari Swiss dengan membawa handpan. Tidak ada yang boleh menyentuh atau memainkannya, tapi saat ia memainkannya, tiba-tiba ruang dan waktu seakan berhenti, menghilang, hanya ada dia, suara dan getaran dari instrumen ajaib itu, dan diriku. Seakan instrumen itu memanggilku. Tapi alat musik itu baru dan sangat mahal. Sebagai mahasiswa baru aku berpikir mungkin dalam lima puluh tahun ke depan ketika aku dewasa dan bisa mengumpulkan uang mungkin aku baru bisa membelinya. Keesokan paginya aku bangun dan sama sekali tidak mengingat nama dari instrumen tersebut. Walaupun aku berada di lingkungan seniman, aku tidak pernah melihat instrumen itu lagi. Hampir sepuluh tahun kemudian aku bekerja sebagai dokter di Berlin, seorang temanku dari New York bertanya apakah ia boleh mampir ke tempatku. Ia lalu datang dengan membawa sebuah instrumen, dan aku bilang padanya “apa? Kamu punya alat musik itu?” lalu dia bilang “ya, tentu, kamu mau mencoba memainkannya?” lalu aku jawab “ya! Apa aku boleh menyentuhnya?” dan dia memberiku handpan miliknya lalu aku duduk dan aku langsung bisa memainkannya. Rasanya seperti suara ini adalah apa yang sudah lama aku impikan sejak pertama kali mendengarkannya. Seakan aku sudah berlatih memainkannya selama beberapa tahun dan sudah sangat mengenal instrumen ini di dalam pikiranku atau semacamnya. Jadi aku langsung bisa memainkannya dan hal itu terasa luar biasa. Saat itu sangat sulit untuk dapat membeli alat musik karena hanya sedikit yang membuatnya. Jadi temanku memberikan pelatihan dan menyarankan agar aku pergi ke festival handpan di Pulau Soros dan mengajarkan teknik ‘butta’ dan itulah yang aku lakukan. Jadi aku bisa sedikit berlibur dari pekerjaanku di rumah sakit dan kemudian aku pergi ke sana untuk mengajarkan ‘butta’ kepada para pemain handpan. Aku sangat malu dan merasa terintimidasi sehingga aku bahkan tidak berani bertanya apakah aku boleh mencoba atau memainkan salah satu instumen itu. Tapi kemudian pada hari terakhir mereka menawarkanku dan seperti yang aku katakan, aku langsung bisa memainkannya dan itu sangat luar bisa. Lalu aku masuk ke komunitas handpan dan menghubungkan Facebook-ku ke para pemain handpan lain sebagai caraku untuk bisa mendapatkan alat musik tersebut, dan ya, aku rasa begitulah caraku mengenal handpan)

ku·mi·usik: And decide to starting make music from your own? (Dan memutuskan untuk mulai membuat musik ciptaan sendiri?)

Kate Stone: Well, just before I got my first handpan, I did the biggest decision in my life which was to quit meds for good, to decline being a doctor, so I gave a notice to the hospital which was just like “what? How can you? You were quite successful as a medical doctor”. So that was a powerful process for me and I really really felt bad, like I felt that I wasn’t giving my patients that I treated in the OR much. I didn’t do any good, I really felt very bad especially when I did the 24 hours shift, all I was seeing was around 300 patients in total, I felt like I did not one single good thing to do one of them, just treating them according to regulation but not the actual individual. So I had this enormous urge to give something positive to mankind, and then I finally was able to get a secondhand handpan, and I decided to just sit on the street and play for the people to share those good vibrations and good magical melodies. I felt that it had something healing. And yeah, I just wanted to share that. After in my feeling I did not good for mankind during all those many years being a doctor, I finally want to give something good. So yeah, I sat there on the street, just played, and from there on it was very quickly and I was asked for workings and play on events and concerts and so on, and it became something big very quickly which was not my intention at all. I’ve never thought I want to be a professional handpan player, but what happened then that I felt there was a momentum, that there was something I could give at this moment and I had a really big advantage which was said that I was so sure that no one would see me. I thought I was invisible behind this instrument, that this instrument would take everything that people listen to, saw, and absorb, so I felt completely authentic and safe. So I could play big stages and could really feel the music and be there because I felt invisible, which helped me a lot. Until I realized that people also saw me through the instrument then it was already too late, so that really helped.

(Sebelum aku mendapatkan handpan pertamaku, aku melakukan keputusan terbesar dalam hidup yaitu berhenti dari medis untuk selamanya dan berhenti menjadi dokter. Aku memberi pemberitahuan ke rumah sakit dan mereka bilang “apa? Bagaimana bisa? Kamu cukup sukses sebagai dokter medis.” Jadi itu adalah proses yang besar bagiku dan aku benar-benar merasa tidak enak. Rasanya seperti aku tidak memberikan yang terbaik untuk pasien yang aku rawat di ruang operasi. Aku benar-benar merasa sangat buruk terutama ketika aku melakukan shift 24 jam. Yang aku lihat adalah total sekitar 300 pasien. Aku merasa seperti aku tidak melakukan satupun hal baik untuk menjaga salah satu dari mereka, aku hanya memperlakukan mereka sesuai dengan peraturan, bukan sebagai individu yang sebenarnya. Maka dari itu aku memiliki dorongan yang sangat besar untuk memberikan sesuatu yang positif kepada orang-orang, sampai kemudian aku akhirnya bisa mendapatkan handpan bekas. Lalu aku memutuskan untuk duduk di jalan dan bermain untuk orang-orang untuk membagikan ‘getaran’ yang baik dan melodi magis yang bagus. Aku merasa ada sesuatu yang bisa ‘menyembuhkan’. Dan ya, aku hanya ingin berbagi setelah aku merasa tidak berbuat baik untuk orang selama bertahun-tahun menjadi dokter, pada akhirnya aku ingin memberikan sesuatu yang baik. Jadi, ya, aku duduk di jalan, memainkan handpan, dan dari situ aku mulai diminta bermain di acara dan konser atau sebagainya. Dan itu menjadi sesuatu yang besar dan sangat cepat bagiku, walaupun aku tidak ada niat untuk itu. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku ingin menjadi pemain handpan professional, tetapi apa yang terjadi kemudian yaitu aku merasa ada sebuah momentum bahwa ada sesuatu yang dapat aku berikan saat ini. Dan aku memiliki keuntungan yang sangat besar walaupun aku sangat yakin tidak akan ada yang melihatku. Aku pikir aku tidak terlihat di balik instrumen ini, bahwa instrumen ini akan mengambil semua yang orang dengar, lihat, dan serap, jadi aku merasa benar-benar otentik dan aman, jadi aku bisa bermain di panggung besar dan benar-benar bisa merasakan musiknya dan berada di sana, karena aku merasa tidak terlihat, yang mana sangat membantuku. Sampai aku menyadari bahwa orang juga melihatku melalui instrumen ini, dan itupun sangat membantuku)

ku·mi·usik: I saw many video from your youtube channel,you have explored many beautiful places with handpan. Where is the most memorable place you’ve been and want to go back to (Aku telah melihat banyak videomu di kanal youtube. Di mana tempat paling membekas yang pernah dan ingin kembali kamu kunjungi?)

Kate Stone: Most memorable place for me was in Bolivia, Salar de Uyuni, which is like a giant salt lake where you can’t see the end. And there was like a moment of seeing world miracle, that was incredible. Pure white, blue sky, that was something that touch me very deep inside. That’s also why this video called Uyuni as my favorite video especially since right after this video we had the car got stuck in the lake and I got really sick, so in the beginning I couldn’t remember the beauty of this. And then when finally we edit the video and it was finished, it brought back these amazing memories from this incredible scenery.

(Tempat yang paling berkesan bagiku adalah di Bolivia, Salar de Uyuni, yang seperti danau garam raksasa di mana kita tidak bisa melihat ujungnya. Ada momen seperti melihat keajaiban dunia dan itu sangat luar biasa. Putih bersih, langit biru, hal itu sangat menyentuhku. Itulah juga kenapa video ini menyebut Uyuni sebagai video favoritku, terutama setelah pengambilan video ini mobil kami terjebak di danau dan aku sakit pada saat itu. Jadi pada awalnya aku tidak bisa mengingat keindahan ini, sampai ketika akhirnya kami mengedit video dan selesai, video itu membawa kembali kenangan yang menakjubkan dari pemandangan yang luar biasa tersebut)

ku·mi·usik: Have you ever visited Indonesia? If not, is there a specific place you want to visit? I think you must visited Yogyakarta. (Apakah kamu pernah mengunjungi Indonesia? Jika belum, apakah ada tempat tertentu yang ingin kamu kunjungi?  Aku rasa kamu harus mampir ke Yogyakarta)

Kate Stone: I haven’t visited Indonesia yet, but I would totally love to. I haven’t traveled the tropical and subtropical areas a lot, as I got very sick in 2005 in India back then (Japanese encephalitis; a dengue fever) and back then the doctor told me that I should not get in any other tropical areas again because there could be a chain reaction. But now I see it differently, so it’s totally on my plate, as soon as the next invitation booking would come I’ll love to go to Indonesia and I’ll do tour, combine it and get to know the country more. I also love volcano, so I would definitely climb on of the volcanos on there, I’ll try to do that wherever there is volcano.

(Aku belum pernah ke Indonesia, tapi aku sangat ingin mengunjunginya. Aku belum sering bepergian ke daerah tropis dan subtropis lagi, karena aku pernah sakit parah pada tahun 2005 di India (Japanese encephalitis; demam berdarah) dan saat itu dokter mengatakan kepadaku bahwa aku tidak boleh masuk ke daerah tropis lainnya lagi karena bisa terjadi reaksi berantai. Tapi sekarang aku melihatnya dengan cara berbeda, jadi hal itu sudah ada dalam rencanaku. Segera setelah undangan berikutnya datang, aku akan dengan senang hati mengunjungi Indonesia dan melakukan tur, menggabungkannya, dan mengenal Indonesia lebih jauh. Aku juga suka gunung berapi, jadi aku pasti akan mendaki gunung berapi di sana. Aku akan mencoba melakukannya di mana pun ada gunung berapi)

ku·mi·usik: I’m just curious. on music platforms such as spotify and deezer there is an album called ‘Strangers In Love’ that is played by you. is that really your album? (Aku hanya penasaran. di platform musik seperti spotify dan deezer ada album berjudul ‘Strangers In Love’ yang dimainkan olehmu. apakah itu benar album milikmu?)

Kate Stone: Yes, the album called Strangers in Love is not from me, my account has been hacked, I don’t know how they did it and who did it. I tried all the legal parts and told Spotify that this is not from me and that they should delete it but nothing is happening. So whoever managed to hack my account and put this album there is getting paid for it from the use my fanbase. So yeah, for me that is very sad part showing me how little impact I have on something. Similar thing  happened that someone uploaded my ‘Urban’ video without permission and I asked him several times to delete it and he didn’t and he got like 30 million views, he’s a French guy, and I also told Facebook this is my content and nothing happened. So, it’s very interesting how difficult it is to protect your work. It’s a sad part of being a musician, like a middle musician, I think if you’re a top musician then of course you have lawyers. But iIt’s also something that I don’t want to. I just stay there being sad of how human mankind or society works these days. I still hope that I can get some help from hacker friend or something. Maybe they can help me finally delete this faults album if Spotify and Deezer and all of them don’t do anything about it.

(Ya, album yang berjudul Strangers in Love bukan dariku, akunku diretas, aku tidak tau bagaimana mereka melakukannya dan siapa yang melakukannya. Aku sudah mencoba semua upaya hukum dan memberi tahu Spotify bahwa itu bukan dariku, tapi tidak ada tindak lanjut. Jadi siapapun yang berhasil meretas akunku dan menaruh albumku di sana, mereka lah yang mendapat bayaran. Jadi, ya, bagiku itu adalah bagian yang sangat menyedihkan yang menunjukkan betapa kecilnya pengaruhku terhadap sesuatu. Hal serupa terjadi bahwa seorang pria Prancis mengunggah video ‘Urban’ ku tanpa izin dan aku memintanya beberapa kali untuk menghapusnya, tapi dia tidak melakukannya. Dia mendapat 30juta tontonan. Aku juga memberi tahu Facebook bahwa itu adalah kontenku, tapi tidak terjadi apa-apa juga. Sangat menarik betapa sulitnya melindungi karya kita. Inilah bagian yang menyedihkan menjadi musisi, tepatnya musisi menengah, karena kalau musisi top pastilah memiliki pengacara. Tapi itu juga bukanlah sesuatu yang aku inginkan. Jadi aku hanya diam dan merasa sedih tentang bagaimana manusia atau masyarakat akhir-akhir ini. Aku masih berharap bisa mendapat bantuan dari teman peretas. Mungkin mereka bisa membantuku menghapus album tersebut jika Spotify dan Deezer tidak bisa melakukan apa-apa)

ku·mi·usik: With Your music, are there any specific messages that you want to convey to your music lover? (Dengan musikmu, apakah ada pesan tertentu yang ingin disampaikan kepada para penikmat musikmu?)

Kate Stone: I wouldn’t say there is a specific message that I want to convey. It’s more what I’m feeling in this moment, that I just want to share this inner peace and being touched by something much bigger when I’m really playing, when I’m fully in it, there is something streaming through me. I just feel more like gentle or medium that it can go through me (the handpan), to the listeners. And what I love is to encourage everyone to play for him/herself. That’s something that is really important to me, that everybody is a musician inside, you don’t need to play big stage or anything, but it’s also such thing as a musicality and not being a musically talented. And I think there’s so much to discover, especially this instrument. It’s so intuitive, really everyone can start playing. And there’s a lot happening in terms of bringing you down and balancing you, bring you to a kind of meditative stage and at the same time whitening your own mind, bring it bigger and more kind. That’s not to talk about the physical effects that those vibrations have if you have it on your lap. So I think it’s really good and amazing, almost magical, maybe really magical instrument that I hope that many people would start to try out and if I can contribute to inspire one or two people to try it themselves then I’m really really happy.

(Aku tidak akan mengatakan bahwa ada pesan khusus yang ingin kusampaikan. Lebih dari apa yang kurasakan saat ini, aku hanya ingin berbagi kedamaian batin ini dan ‘tersentuh’ oleh sesuatu yang lebih besar ketika aku benar-benar bermain (musik), bahwa ketika aku sepenuhnya berada di dalamnya, ada sesuatu yang mengalir di dalam diriku. Aku merasa lebih seperti media yang bisa melaluiku (handpan nya), ke para pendengar. Dan yang aku sukai adalah mendorong semua orang untuk bermain untuk diri mereka sendiri. Hal itu adalah sesuatu yang sangat penting bagiku, bahwa setiap orang adalah musisi di dalam diri mereka. Kita tidak perlu bermain di panggung besar atau apa pun, juga semacam musikalitas atau tidak mempunyai bakat musik. Dan menurutku ada banyak yang bisa kita temukan, semua orang bisa mulai bermain musik. Dan ada banyak hal yang terjadi dalam hal menjatuhkan dan menyeimbangkan kita, membawa kita ke semacam tahap meditasi dan pada saat yang sama memutihkan pikiran kita sendiri; membuatnya lebih besar dan lebih baik. Belum lagi tentang efek fisik dari getaran (handpan) ketika ia benar-benar berada di pangkuan kita. Jadi menurutku handpan benar-benar menakjubkan, ajaib, alat musik yang aku harap banyak orang akan mulai mencobanya. Dan jika aku dapat berkontribusi untuk menginspirasi satu atau dua orang untuk mecobanya sendiri maka aku akan sangat senang)

ku·mi·usik: Last question. What is your view on the costs that the pandemic has brought to the world and how do you see art and music in this new era? (Bagaimana pandangan kamu tentang biaya yang ditimbulkan oleh pandemi ke dunia dan bagaimana kamu melihat seni dan musik di era baru ini?)

Kate Stone: Well the pandemic has brought a lot to the world, also good aspects as slowing down feeling that a lot more people are more conscious about environment, about what they want in life, about what matters. So that’s definitely some good things, good processes that the pandemic has started. But it’s certainly also had brought separation and loneliness to the world and it’s always most to the poor that is already disadvantage people. So yeah you see that art and music is very best way to deeply touch and heal and inspire souls all over the planet, it doesn’t need the same language or culture or a certain state of education or whatsoever, I think it touches the purest essence of mankind and that was a lot of fear, sorrow, lost, and especially isolation which I think is really dangerous for human being. They should be in contact, embracing each other physically, emotionally and spiritually. And I think it’s crucial that we have art and music to reunite and especially to heal, to recharge us all, the artists as well. Brought everyone to get over some drama tests that this pandemic suddenly brought to many of us.

(Pandemi telah membawa banyak hal di dunia ini, juga aspek baik seperti menyadarkan kita bahwa banyak orang yang menjadi lebih sadar tentang lingkungan, tentang apa yang mereka inginkan dalam hidup, tentang apa yang penting. Itulah beberapa hal baik, proses yang baik yang pandemi ini telah mulai. Tapi pandemi juga pastinya telah membawa perpisahan dan kesepian pada dunia, dan yang paling merasakan hal itu adalah orang miskin dan orang yang memang tidak beruntung. Jadi, ya, kita bisa liat sendiri bahwa seni dan musik adalah cara terbaik untuk menyentuh dan menyembuhkan jiwa-jiwa di seluruh bumi secara mendalam, tidak memerlukan bahasa atau budaya yang sama atau pendidikan tertentu atau apa pun, menurutku seni dan musik bisa menyentuh esensi yang paling murni dari manusia di saat ada banyak ketakutan, kesedihan, kehilangan, dan terutama isolasi yang menurutku sangat berbahaya bagi manusia. Mereka harus saling berhubungan, saling merangkul secara fisik, emosional, dan spiritual. Dan menurutku sangat penting bahwa kita memiliki seni dan musik untuk bersatu kembali terutama untuk menyembuhkan, utuk mengisi ulang kita semua, terutama juga para seniman. Membawa semua orang untuk mengatasi beberapa tes yang pandemi ini tiba-tiba bawa kepada kita)

Mungkin hanya sedikit ini saja informasi yang bisa gue bagikan tentang Kate Stone, jangan lupa share dan comment ya kawan-kawan.


Transkrip dan terjemahan  : Instagram/@farahfaw

Kontak.

Facebook       : https://www.facebook.com/kate.handpan/

Instagram      : https://www.instagram.com/katestonehandpan/