Interviu Bersama Evolfo: Musik Psikedelik Berbalut Kemurnian ‘Cinta’

DARI cinta tumbuh seribu pengharapan untuk setiap hal yang dilakukan, mulai dari bangun tidur, bernapas hingga melakonkan musik. Bermula pada 2009 ketika Matthew Gibbs membuat dekret untuk membentuk band bersama beberapa kolega kampusnya di Boston. Memilih memperdengarkan irama psikedelik rok disisipi nuansa garage/soul/jazz/funk.

Irama lembut menuntun Evolfo dalam pelesiran deras akan afeksi dengan begitu menarik. Silahkan dengarkan melalui platform digital spotify:

Tidak hanya sekadar membahagiakan diri, Evolfo juga menginginkan para pendengar larut dalam eratan romantis bersimbah hasrat filantropi dengan begitu sahih.

I would like for people to listen to this music and experience the joy I feel when I make it. And I would like to convey a message of open mindedness. To me, the concept of an open mind is at the heart of the psychedelic genre. Psychedelic music can be invitation to experiment and to expand not just music itself, but the mind of the people listening to it and making it,ungkap Gibbs kepada ku·mi·usik.

Evolfo berhasil membuahkan cinta kepada setiap individu yang mendengarkan musiknya dengan cara terbaik. Tanpa perlu membuang waktu lebih, ku·mi·usik berkesempatan untuk mewawancarai Matthew Gibbs dari Evolfo pada 3 Mei 2022:

ku·mi·usik: May introduce your band? (Bisa perkenalkan band-mu?)

Matthew Gibbs: Our band is called Evolfo, it spells Of Love backwards. And we are a psychedelic music collective based out of Brooklyn, NY. Our band features me – Matthew Gibbs on vocals and guitar, Rafferty Swink on vocals and keyboards, Kai Sorensen on guitars and trumpet, Ben Adams on Guitar, Jared Yee on Saxophone, Ronnie Lanzilotta on bass, and Dave Palazola on drums.

(Band kami disebut Evolfo, penulisan terbalik dari ‘Of Love’ . Dan kami adalah pencipta musik psikedelik kolektif berbasis di Brooklyn, NY. Band kami menampilkan aku -Matthew Gibss di vokal dan gitar, Rafferty Swink di vokal dan keyboard, Kai Sorensen di gitar dan trompet, Ben Adams di gitar, Jared Yee di Saxophone, Ronnie Lanzilotta di bass, dan Dave Palazola di drum.

ku·mi·usik: So, what do you call the kind of music that you create? (Jadi, kamu sebut apa musik yang kamu ciptakan?)

Matthew Gibbs: I think that ‘psychedelic garage soul’ sums it up nicely!

(Menurutku ‘psychedelic garage soul ‘ adalah penyimpulan yang baik!)

ku·mi·usik: Can you tell us how the process of making songs works? (Bagaimana proses pembuatan sebuah lagu?)

Matthew Gibbs: We use a variety of songwriting techniques, many songs start in different ways, some from jamming, some start as demos and get fleshed out. But most commonly a song begins when Rafferty or I brings a new song idea to teach to the band. Sometimes we will play the song live on tour for a while before we record it, but on our most recent record we did a lot of the writing right in the studio. We don’t write much down, we just learn tunes and commit them to memory. Recording wise – we don’t go to fancy studios, we record everything in spaces where we can be flexible with timing and experiment a lot and we like to write, record, engineer, and mix everything ourselves. Rafferty does most of the heavy lifting when it comes to engineering and especially mixing but we all pitch in as much as we can!

(Kami menggunakan teknik menulis yang bervariasi, banyak lagu diawali dengan cara yang berbeda, beberapa diawali dengan asyik, beberapa diawali dengan demo lalu disempurnakan. Tapi seringkali lagu akan mulai saat Rafferty atau aku membawa ide lagu baru untuk diajarkan ke band. Terkadang kami akan mainkan lagu secara live saat tour beberapa waktu sebelum kami rekam, tetapi di kebanyakan rekaman terbaru kami banyak melakukan penulisan lirik di studio langsung. Kami tidak menulis banyak, kami hanya belajar mendengarkan nada dan di komit kedalam memori. Secara rekaman – kami tidak pergi ke studio mewah, kami merekam semuanya di tempat dimana kami bisa menjadi flexibel dengan waktu dan banyak ber eksperimen dan kami suka menulis, merekam, merekayasa, dan mencampur semuanya sendiri. Rafferty mengerjakan sebagian besar dari mengangkat beban berat ketika merekayasa dan khususnya mencampur tapi kita semua ikut menekuni nya sebisa mungkin)

ku·mi·usik: And what are the lyrics that you create mostly talked about as regards? (Kebanyakan lirik yang tercipta, berbicara tentang apa?)

Matthew Gibbs: Our lyrics are very introspective, fantastical, and existential. We ask a lot of questions in our songs. Rafferty, Ben, and I often collaborate on the lyrics and we challenge one another to question and read deep into what we sing about. I find writing lyrics for Evolfo a very therapeutic experience, like writing in a journal or doing talk therapy. I hope to learn something about myself and improve myself every time I write a song. We do a lot of musing on death and sadness but I feel that there is an optimistic and fun undertone to our songs.

(Lirik-lirik kami sangat introspektif, fantastikal, dan eksistensial. Kami bertanya banyak hal di lagu lagu kami. Rafferty, Ben, dan aku seringkali bekerja sama di lirik dan kami menantang satu sama lain untuk bertanya dan membaca pertanyaan mendalam ke pada apa yang kita nyanyikan. Menurutku menulis lirik untuk Evolfo adalah pengalaman yang terapeutik, aku suka menulis di jurnal atau melakukan terapi bicara. Aku berharap untuk belajar hal baru tentang diriku sendiri dan bertambah baik setiap aku menulis lagu. Kami melakukan banyak renungan tentang kematian dan kesedihan tapi aku merasakan bahwa di warna dasar lagu kami terdapat optimisme dan kesenangan)

ku·mi·usik: Please tell us more about your last record ‘Site out of Mind’? How the process? And like we know the album is record in the middle of this pandemic. (Ceritakan lebih lanjut tentang album terbarumu, bagaimana prosesnya? Seperti yang kita tahu album ini dikerjakan di tengah pandemi seperti ini)

Matthew Gibbs: Site Out of Mind actually was NOT recorded during the pandemic! It took about 3 years to make and much of it was recorded in the tiny little attic of my apartment in Brooklyn in the spring of 2018. I had been accumulating gear and writing and recording in my hot little attic for a few months when I asked the rest of the band if they wanted to try and record our next album in there. It was chaos but it was so free and so fun. All 7 of us were piled all over each other in this tiny space at times. We then spent the next 2 years in Rafferty’s home studio doing overdubs, writing lyrics, mixing, and then planning the release.

(Site Out Of Mind sebenarnya TIDAK direkam pada saat pandemi! membutuhkan waktu sekitar 3 tahun untuk pembuatan dan banyak dari itu di rekam di sebuah loteng kecil apartemen ku di Brooklyn di musim semi 2018. Aku telah mengumpulkan peralatan dan menulis dan rekaman di loteng panas kecil ku selama beberapa bulan saat aku bertanya kepada band jika mereka mau mencoba dan merekam album selanjutnya di sana. Berjalan secara rusuh tetapi sangat bebas dan sangat menyenangkan. Terkadang kami ber 7 bertumpukan sesama lain di tempat sempit ini. Lalu kami menghabiskan waktu 2 tahun kedepan di studio rumah Rafferty melakukan overdubbing, menulis lirik, mencampur, dan mengatur rencana untuk rilis selanjutnya)

ku·mi·usik: With Your music are there any specific messages that you want to convey to your music lover? (Dengan musikmu, apakah ada pesan tertentu yang ingin disampaikan kepada para penikmat musikmu?)

Matthew Gibbs: I hope our music can be a friend to those people who are interested in exploring the question of reality and existence. I want to inspire folks to visit the edge of their understandings, because in this place the mind can be free to experience new things and it makes life worth living.

(Aku akan senang jika orang-orang mendengarkan musik ini dan merasakan kesenangan yang aku rasakan saat aku menciptakan nya. Dan aku ingin menyampaikan pesan tentang pikiran yang terbuka. Bagi ku, konsep dari pikiran terbuka adalah di hati dari genre psikedelik. Musik psikedelik bisa menjadi undangan untuk ber eksperimen dan untuk mengembangkan tidak hanya musik, tetapi di pikiran orang yang mendengarkan dan menciptakan. Aku harap musik kami bisa menjadi teman kepada orang yang tertarik pada eksplorasi pertanyaan tentang realita dan eksistensi. Aku ingin menginspirasi orang orang untuk mengunjungi ujung dari pemahaman mereka, karena di tempat ini pikiran bisa bebas untuk mengalami hal baru dan itu membuat nya memiliki nilai untuk hidup)

ku·mi·usik: Last question. What is your view on the costs that the pandemic has brought to the world and how do you see art and music in this new era? (Bagaimana pandangan kamu tentang biaya yang ditimbulkan oleh pandemi ke dunia dan bagaimana kamu melihat seni dan musik di era baru ini?)

Matthew Gibbs: Here is my best answer: the pandemic took the whole world economy, including the music industry of course, and gave it a big shake. Everyone is hanging on for dear life and in the end the music industry suffered huge losses. Venues have gone out of business. And many music industry folks have had to make hard decisions, get new jobs to support themselves, and stop playing music professionally. It is tragic. However, I don’t believe the loss of income can really destroy the heart of a musician or kill music. It can only kill the music industry. Despite the industry being in shambles,  you will never find a musician like myself “quitting” music. Maybe one day I will quit the music industry. But nothing can destroy my desire to write songs and sing and get together with my friends to play music. This is music, not business, and it will persist no matter what happens until the end of the human race.

(Ini adalah jawaban terbaik ku: pandemi telah merebut ekonomi seluruh dunia, termasuk industri musik tentunya, dan memberinya goncangan yang besar. Semuanya bekerja keras untuk bertahan hidup dan akhirnya industri musik menderita kehilangan besar. Tempat-tempat event juga keluar dari bisnis, dan banyak teman-teman industri musik harus membuat keputusan yang berat,  mencari pekerjaan baru untuk bertahan hidup, dan berhenti bermain musik secara profesional. Tragis. Meski begitu, aku tidak percaya kehilangan pemasukan bisa benar-benar menghancurkan hati dari seorang musisi atau membunuh musik itu sendiri. Ia hanya bisa membunuh industri musik. Sekalipun industri nya sedang dalam kekacauan, kamu tidak akan menemukan musisi seperti ku “berhenti” bermusik. Mungkin suatu saat nanti aku akan berhenti dari industri musik. Tapi tidak ada yang bisa menghancurkan keinginan ku untuk menulis lagu dan bernyanyi dan berkumpul dengan teman untuk bermain musik. Ini musik, bukan bisnis. Dan itu akan bertahan sampai akhir hayat  umat manusia)

Mungkin hanya sedikit ini saja informasi yang bisa gue bagikan tentang Evolfo, jangan lupa share dan comment ya kawan-kawan.


Penerjemah   : Instagram/@nxbilla

Kontak.

Website          : https://evolfo.com/

Facebook       : https://www.facebook.com/evolfo

Twitter           : https://twitter.com/evolfomusic

Instagram      : https://www.instagram.com/evolfo