Interviu Bersama Pseudo Saint: Kenangan Adiwarna Diselemuti Irama Awang

BERMACAM inspirasi bisa menjumpaimu dari arah manapun, dari sebuah ide mentah berubah menjadi kreativitas tanpa batasan. Dalam artikel ini kata ‘batasan’ yang dimaksud adalah jenis musik yang dimainkan. Dara bernama Savannah Rico ini tengah membuktikan isi pikirannya dengan begitu lampias di setiap musik nan tercipta.

Berada di bawah moniker sebagai Pseudo Saint, Savannah menyajikan inheren mulai dari psikedelik, dream pop, dan shoegaze, dengan nuansa yang begitu melandai. Dengan lirik berbicara tentang keintiman, hubungan, seks, proyeksi diri hingga identitas gender. Silahkan dengarkan melalui platform digital spotify:

Pemilihan nama ‘Pseudo Saint’ pun merupakan sepucuk kenangan tersendiri dari Savannah. Sampai akhirnya ia menyakinkan dirinya untuk terus menggunakan nama tersebut.

One day I was flipping through one of my old journals, and I found “pseudo saint” written in the middle of a blank page, and it resonated with me quite a bit at that moment,ucap Savannah kepada ku·mi·usik.

Menggunakan implementasi pikirannya dan pengalaman yang telah dilalui, Savannah pun menggunakan kamar tidurnya dalam merajut nada, hingga irama menjadi lagu utuh dari apa yang inginkan. Silahkan nikmati wawancara ku·mi·usik bersama Savannah Rico pada 5 Mei 2021:

ku·mi·usik: May introduce yourself? (Bisa perkenalkan dirimu?)

Savannah Rico: Hello! My name is Savannah Rico, and I make music under the moniker Pseudo Saint.

(Halo! Namaku Savannah Rico, dan aku membuat musik dengan nama Pseudo Saint)

ku·mi·usik: So, what do you call the kind of music that you create? (Jadi, kamu sebut apa musik yang kamu ciptakan?)

Savannah Rico: To be completely honest, I am still trying to find the elevator pitch for my music. I think the umbrella term would defintely be indie, but I’ve been described as dream-pop, shoegazey, rumative, and gay haha. 

(Sejujurnya, aku masih mencoba untuk mencari penjelasan dari musikku. Menurutku istilah yang tepat adalah indie, tapi aku juga kerap digambarkan sebagai dream-pop, agak shoegaze, pemikir, dan gay, haha)

ku·mi·usik: Can you tell us how the process of making songs works? (Bagaimana proses pembuatan sebuah lagu?)

Savannah Rico: The process varies. Sometimes I write a complete song on the guitar that I record in my voice memo app, but most often a song begins with just a riff. I typically do a rough recording of the riff, then immediately overdub it with either more guitar or softsynths. I often feel like I am not introduced to many of my songs until I start building at least 2 or 3 more elements. I unfold the tone or rhythm of the song and that usually points me in a specific direction, lyrically and melodically. From there I will just loop the song endlessly, pacing, improvising melodies, as well as lyrics, or I will pull from my notes app. I find out what feels good to sing. I build pretty dense, almost complete, drafts of my songs, and then overtime, I workshop lyrics, re-record guitar and vocals, add and subtract components. Figuring out when the song is actually “complete” is another story.

(Prosesnya bervariasi. Terkadang aku menulis lagu lengkap dengan menggunakan gitar lalu merekamnya di aplikasi catatan suara, tapi paling sering lagu yang kubuat dimulai dengan hanya riff-nya saja. Biasanya aku membuat rekaman kasar dari sebuah riff, lalu menambahkan overdub entah dengan gitar atau sedikit synth. Aku seringkali merasa tidak puas dengan lagu-laguku sampai aku mulai membangun setidaknya 2 atau 3 elemen lagi. Aku mengembangkan nada dan ritme dari sebuah lagu yang biasanya mengarahkanku ke arah tertentu, baik secara lirik maupun melodi. Dari situ aku hanya akan mengulang lagu tersebut terus-menerus, bolak-balik, mengimprovisasi melodi maupun lirik, atau aku akan mengambil bahan dari aplikasi catatanku. Mencari tahu apa yang enak untuk dinyanyikan. Aku membuat konsep lagu yang padat dan hampir utuh, kemudian seiring waktu membuat workshop lirik, merekam ulang gitar dan vokal, menambah dan mengurangi komponen. Mencari tahu kapan lagu itu benar-benar “selesai” adalah cerita lain)

ku·mi·usik: And what are the lyrics that you create mostly talked about as regards? (Kebanyakan lirik yang tercipta, berbicara tentang apa?)

Savannah Rico: I really really take my time writing. So, because of that, the lyrical content stems from diverse times in my life.  For instance, the song “Separation” from my most recent album was originally written in 2015. That is earlier than my EP, Covetous Girl, which was released in 2017. Then there is the song, “The One & The Other” also from the most recent record, and that was written in 2020. “Separation” is, to put it bluntly, about separating love and sex. However, it certainly goes deeper than that. In that song, as well as many others there are themes of sexuality-identity struggles, jealousy, and the friction of believing one thing and feeling another. I also LOVE to talk to myself and often contradict myself in my writing. In “Not Much of a Fool” there are moments where its as though another voice chimes in with a counterpoint. “those who can read you, can’t get past the first pages” / “Oh why complain, it’s not like you read much anyways”

(Aku benar-benar meluangkan waktu untuk menulis. Jadi, karena itu, konten lirik lahir dari waktu yang beragam di hidupku. Sebagai contoh, lagu “Separation” dari album terbaruku aslinya ditulis pada tahun 2015. Itu lebih dulu dari EP ku, Covetous Girl, yang dirilis pada tahun 2017. Lalu ada lagu “The One & The Other” yang juga berasal dari album terakhirku, yang ditulis pada tahun 2020. Terus terang, “Separation” adalah tentang memisahkan cinta dan seks. Tapi pastinya lebih dalam dari itu. Di lagu tersebut, seperti banyak lagu lain, ada tema mengenai pergulatan identitas-seksulitas, kecemburuan, dan pergesekan antara memercayai satu hal dan merasakan hal lain. Aku juga sangat suka bicara pada diriku sendiri dan seringkali bertentangan dengan diriku sendiri di dalam tulisanku. Dalam “Not Much of a Fool”, ada momen di mana ada suara lain yang menyela dengan counterpoint. “Those who can read you, can’t get past the first pages” / “Oh why complain, it’s not like you read much anyways” (“mereka yang bisa membacamu, tidak bisa melewati halama pertama” / “oh, mengapa mengeluh, toh kamu juga tidak banyak membaca”)

ku·mi·usik: Does the word “Pseudo Saint” have meaning? (Apakah ‘Pseudo Saint’ memiliki sebuah arti?)

Savannah Rico: When I was in highschool, my journals largely consisted of short phrases that I liked the sound of, or random thoughts, much like how I use my notes app now, honestly. Write something, forget about it, rediscover it later. This was in 2012, I was 17, and I think at that time I wasn’t living up to certain expectations I thought people had of me, whatever those may have been! Plus I liked how arrogant it sounded. I considered changing the name down the road, but decided to treat it like my own name, as though it was given to me against my will.

(Ketika aku masih sekolah, sebagian besar jurnalku berisi frasa singkat yang aku suka, suara, atau pemikiran acak, sama seperti yang ada di aplikasi catatanku saat ini, jujur. Menulis sesuatu, melupakannya, lalu menemukannya kembali di kemudian hari. Pada 2012 saat aku berusia 17 tahun, aku rasa saat itu aku tidak memenuhi harapan tertentu yang menurutku dimiliki orang-orang terhadapku, apapun itu bentuknya! Ditambah lagi aku suka betapa arogannya kata tersebut terdengar. Aku sempat berpikir untuk mengubah nama tersebut, tapi aku kemudian memutuskan untuk memperlakukan nama itu seperti namaku sendiri, seola-olah nama itu telah diberikan kepadaku diluar kehendakku)

ku·mi·usik: Please tell us more about your debut ‘Lick It or Lump’? How the process? And like we know the album is record in the middle of this pandemic. (Ceritakan lebih lanjut tentang debut ‘Lick It or Lump’, bagaimana prosesnya? Seperti yang kita tahu album ini dikerjakan di tengah pandemi seperti ini)

Savannah Rico: I have been working on ‘Like it or Lump’ for quite some time. I knew that my first full-length record was going to be titled ‘Like it or Lump’ when I first started Pseudo Saint. I liked how clunky and almost grotesque it sounded, haha. The name is a butchering of the idiom, “Like it or Lump it”, which essentially means you have to accept a situation whether you like it or not. That was my motto for some time in my early adulthood, and I think the sentiment applies to basically all the songs on the album. I performed, recorded, and mixed the entire album over a span of four years or so. It was pieced together little by little in various apartments, and then eventually finished in my dingy basement studio. Producing everything independently and at home benefited me during the pandemic. In fact, at the start of the pandemic, I lost my full-time job that I hated, which ultimately allowed me to crack down on finishing the record. Although, I will say that being so isolated with such a large creative endeavor was very challenging at moments.

(Aku sudah mengerjakan ‘Like it or Lump’ sejak lama. Aku sudah tahu bahwa rekaman penuh pertamaku akan berjudul ‘Like it or Lump’ ketika aku pertama kali memulai Pseudo Saint. Aku suka betapa kaku dan anehnya nama tersebut terdengar, haha. Nama tersebut diambil dari idiom “Like it or lump it”, yang pada dasarnya berarti kita harus menerima sebuah situasi entah suka atau tidak.  Itulah motoku selama beberapa waktu di awal masa dewasaku, dan menurutku sentiment tersebut pada dasarnya berlaku untuk semua lagu di album ini. Aku tampil, merekam, dan mengerjakan album ini dalam rentang waktu empat tahun atau lebih. Album ini disatukan sedikit demi sedikit di beberapa apartemen, dan pada akhirnya selesai di studio ruang bawah tanahku yang kumuh. Faktanya, pada awal pandemi, aku kehilangan pekerjaan utamaku yang kubenci, yang pada akhirnya memungkinkanku untuk menyelesaikan rekaman. Walau bagaimanapun, aku akan mengatakan bahwa terisolasi dengan kreativitas yang begitu besar terasa sangat menantang pada saat itu)

ku·mi·usik: With Your music are there any specific messages that you want to convey to your music lover? (Dengan musikmu, apakah ada pesan tertentu yang ingin disampaikan kepada para penikmat musikmu?)

Savannah Rico: Having any fans or listeners at all is a very new thing for me, one I am certainly very grateful for. As for any specific message, I would say: I put so much into what I’ve created, and it means a lot for anyone to take the time to listen to it. I am eager to share more with you, and I look forward to meeting you

(Memiliki penggemenar atau pendengar adalah hal yang baru bagiku, yang pastinya sangat aku syukuri. Mengenai pesan tertentu, aku akan bilang: aku menaruh begitu banyak hal ke dalam apa yang aku buat, dan sangat berarti bagiku bahwa ada yang meluangkan waktu unutk mendengarkannya. Aku ingin berbagi lebih banyak dan berharap bisa bertemu dengan kalian)

ku·mi·usik: Last question. What is your view on the costs that the pandemic has brought to the world and how do you see art and music in this new era? (Bagaimana pandangan kamu tentang biaya yang ditimbulkan oleh pandemi ke dunia dan bagaimana kamu melihat seni dan musik di era baru ini?)

Savannah Rico: The weight and cost of the pandemic has been tremendous. However, one positive side effect is the rise in awareness and support for the arts. We have all made a greater effort to support each other over the past two years. It is nice to see bands touring again, people masking up, and making sure they buy merch.  It is still quite challenging. If one member on tour gets covid, despite having minor symptoms, it can be a major financial loss. In addition to a lost opportunity to socially connect with people, something we’ve been deprived of for quite some time now. Covid has certainly made this already very exhausting and demanding industry even more difficult. However, I am hopeful that people will remain unified and invested in the arts, particularly within their local communities. 

(Beban dan biaya yang ditimbulkan pandemi sangat luar biasa. Tapi, salah satu efek samping positifnya adalah meningkatnya kesadaran dan dukungan terhadap seni. Kami semua telah melakukan upaya yang lebih besar untuk saling mendukung selama dua tahun terakhir. Sangat menyenangkan melihat band-band melakukan tur lagi, orang-orang memakai masker, dan memastikan mereka membeli merchandise. Ini masih terasa cukup menantang. Jika salah satu anggota tour terkena covid, walaupun gejalanya ringan, bisa menimbulkan kerugian finansial yang besar. Selain kehilangan kesempatan untuk terhubung secara sosial dengan orang-orang; sesuatu yang hilang dari kita saat ini, Covid tentu saja membuat industri yang sudah sangat melelahkan dan menuntut ini semakin sulit. Tapi, aku percaya bahwa orang-orang akan tetap bersatu dan berinvestasi dalam seni, khususnya dalam komunitas lokal mereka)

Mungkin hanya sedikit ini saja informasi yang bisa gue bagikan tentang Pseudo Saint, jangan lupa share dan comment ya kawan-kawan.


Penerjemah   : Instagram/@farahfaw

Kontak.

Website          : https://www.pseudosaint.org/

Facebook       : https://www.facebook.com/pseudosaintpseudosaint/

Twitter           : https://twitter.com/pseudoluv4urmom/

Instagram      : https://www.instagram.com/pseudo_saint/